Saturday 13 August 2022

Bila Aku Menulis Surat Untukmu

Kepada Bila yang Kukira Masih Menjadi Konjungsi Temporal bagi Kata sebelum 'Hidup' ...

Bogor, 27 Juli 2022

selamat malam, Bila. siang tadi, kira-kira 11 jam sebelum aku menulis surat ini, aku berselancar di youtube lalu menemukan bahwa menurut Mitologi Yunani: malam adalah personifikasi perempuan & kegelapan adalah personifikasi lelaki. aku melamun berat setelahnya. aku tahu ini terlalu random, tetapi aku pun sama sekali tak tahu akan kuapakan informasi nirguna ini.

& alih-alih kau bisa segera mengecap keromantisan yang obskur dalam suratku ini—kukira, prolognya malah akan menimbulkan efek domino yang membidani rasa skeptis & persepsi kritis di kepalamu bahwa surat ini perlahan namun pasti akan mengalir dengan cukup payah & cenderung goblok.

sebentar … aku ingin bertanya hal yang fundamental: kau di sana, & masih berhasrat untuk membaca surat ini, kan? aku mau tekskan kejujuranku: sebenarnya, isi batok kepalaku tak lebih piawai & pandai dari seekor kalkun yang sedang pilek. dengan kata lain, aku hiper-bahlul ketika di hadapkan pada situasi di mana aku mesti mengarang surat (yang mungkin lebih terlihat seperti puisi-prosa berwarna kerinduan campur kebucinan) demi meredakan & menenangkan seribu taifun pada ceruk hatiku. 

aku tak mengidap gangguan obsesif kompulsif, tetapi aku ingin bertanya pertanyaan yang sama: kau masih di sana, kan? kalau iya, sekarang, coba kau buka persegi panjang berkaca itu, kau harus tahu bahwa malam ini, lunar dengan sinarnya yang megalomania menyinari kerisauan-kerisauanku lagi. 

selamat pagi, Bila. maaf, semalam otot mataku dikalahkan kelelahanku yang jauh lebih kuat. kemarin, pada pukul 19.00-21.00, aku mengisi forum diskusi tentang Nietzsche yang kita sama-sama sepakat: dia terlalu sinting, enigmatik, & edgy. kau tahu? aku dihujani tanda tanya yang sama seperti tanda tanya kepada seorang juru bicara. tapi tak apa, aku senang, & mungkin di neraka sana—Si Dinamit akan tersenyum panjang kali lebar kali tinggi kepadaku ... yang telah meluruskan beberapa miskonsepsi klise dari orang-orang awam ... yang mencoba membaca sekaligus menerka-nerka paradigma ODGJ ... yang mati dipeluk pneumonia & raja singa di Basel itu.

selamat pagi, Bila. aku sengaja mengucapkan selamat pagi lagi, sebab pada pagi ini, aku sarapan dengan semangkuk bubur yang begitu kau benci. aku masih tak paham mengapa pula kau membenci bubur, baik yang diaduk maupun yang tak diaduk. tapi satu yang jelas, hatiku begitu campur aduk (dalam konotasi yang negatif) ketika tak ada lagi teks-teks semacam “how's your day?” mengetuk-ngetuk pintu whatsapp-ku. 

& seperti yang sudah bisa kau tebak, hari ini kehendakku putuskan untuk kembali mengawinkan kafein & nikotin dengan penuh keberanian—demi menjawab pertanyaan yang hampir selalu mengudara ketika aku pertama kali membuka mata: “should I kill myself, or have a cup of coffee? but in the end one needs more courage to live than to kill himself.”

jika kau ingat, kau sudah kuberi tahu, bahwa pikiran-kesadaranku tak lagi perawan. & hidup yang dilandaskan pada Absurdisme hanya berkutat pada siasat-siasat repetitif untuk menunda kematian secara efektif (dalam konteks yang lebih suram: bahkan tak melakukan bunuh diri pun adalah sebuah prestasi, katanya Camus). kita sama-sama membenci Mas Prancis yang absurd itu: kau membencinya sebab Bapak Sisifus itu berdampak buruk buat mental kita berdua—sedang aku membencinya sebab kau adalah arketipe de Beauvoir, yang masalahnya aku bukan Sartre, & terlalu Camus buatmu.

sedikit menyoal de Beauvoir, bagaimana kabar skripsimu yang menggunakan teorinya? aku percaya kau bisa menyelesaikannya. ini bukan sejenis gombalan … faktanya, secara empiris, kau memanglah perempuan paling intelek (sekaligus paling feminis, paling liberal, & paling manis) yang pernah berbincang-bincang denganku selama lebih dari 6 jam yang bahkan dilakukan secara konstan; 2 hari berturut-turut—tanpa memberikan ruang bagi keheningan yang canggung—untuk masuk ke dalam bahasan-bahasan kita yang seperti tak pernah kehabisan bahasa.

selamat siang, Bila. bumi bajingan ini masih berputar-putar dengan kecepatan 1.770 km/jam. cepat sekali, bukan? tapi ... 

when you sit with a 10/10 woman for more than six hours, you think it's only a minute—but when you sit on your loneliness, you think it's eternity. that's relativity.”

kutipan di atas adalah kutipan terkenal dari Einstein tentang Relativitas Waktu yang sengaja kuganti agar lebih puitis & senada dengan orkestra kemurungan-kemurungan luar biasa pada pembuluh hasratku.

omong-omong, apakah kau punya obat pereda kemualan-kemualan eksistensial? aku nausea. & nausea. & nausea. & bagian paling buruknya adalah aku seperti tak mau hidup seribu tahun lagi. kalau boleh blak-blakan, aku mual sebab ketika kesadaran menguasai 3/3 alam bawah sadarku, maka satu-satunya yang naik & tampak di indera penglihatanku adalah fragmen-fragmen senyummu. o senyummu adalah rumah kabin kayu bergaya Skandinavia (di tengah-tengah antah-berantah yang tak seorang Schrödinger pun tahu & peduli; “apakah beringin tua itu jatuh bersuara ketika tak ada sebuah kuping di sana?”) dengan jendela menghadap ke lembah-lembah di mana airmata kita berdua aman tersimpan.

selamat sore, Bila. maaf tadi aku semakin melantur tak karuan. aku masih graphomania. aku harap kau tak lupa untuk membangunkan hidup, memandikan hidup, memberi makan hidup, memberi makna hidup, & menghidupi hidup. aku meminta segenap maaf jika aku pernah menggoreskan kata sifat pisau pada dinding hatimu. kehendak untuk berkuasa milikku tak pernah berminat untuk melakukannya. aku sama sekali tak punya tendensi untuk memancing sistem lakrimal pada kedua matamu untuk mengeluarkan airmatamu yang laut itu.

terakhir ... aku benci untuk mengatakan ini, tetapi saat ini, aku benar-benar merindukanmu. & jauh di lubuk hatiku yang muram & lindap—aku benci berharap & sudah lama tak berharap & kini aku kembali berharap: semoga surat yang kutulis dalam keadaan yang begitu melankolis & biru ini ... bukanlah sebuah ketololan-kelirisan yang tak perlu.

Sincerely,

Mas Aldy

Friday 12 August 2022

Reviu Singkat "Hujan Menulis Ayam - SCB" dari Perspektif Pembaca Awam

Author: Sutardji Calzoum Bachri
Title: Hujan Menulis Ayam
Format: 129 pages, Paperback
ISBN: 9789799375186
Published: June 1, 2020 by Indonesia Tera
Language: Indonesian

Judul-judul cerpen di dalam "Hujan Menulis Ayam" saya rasa mengandung efek domino yang dapat membuat pembacanya tertipu dan tanpa tedeng aling-aling merendahkan isinya—sebab menggunakan diksi yang sederhana, yang cukup dekat dengan keseharian normies pada umumnya. Namun beribu namun, pembaca akan terkejut bukan main ketika membaca cerpen-cerpen di buku ini—yang teks-teksnya dibangun & ditopang dengan menggunakan komposisi: imaji liar, plot yang absurd, amanat yang tersirat-implisit, & gaya bahasa yang luar biasa ajaib, terdengar seperti mantra. Apa jadinya jika Presiden Penyair Indonesia mengarang cerpen? Ya, beginilah jadinya. Edan!

Berikut review singkatnya ...

HUJAN: tentang Ayesha yang memiliki hubungan batin dengan hujan—yang begitu mencintai hujan; karena ia membenci matahari. Setelah membaca cerpen ini, ada semacam dorongan untuk berkata bahwa: hujan bukan sekadar fenomena klimatologis yang terjadi ketika kandungan air di awan jatuh ke bumi. Hujan adalah sesuatu yang monumental, yang membuat kita menghayati apa-apa yang sebelumnya kita anggap begitu biasa, bahkan tak bermakna. "Bagi Ayesha, hujan adalah ucapan yang mendedahkan sastra, nyanyi, musik, atau tari ..."

Bagi saya, cerpen ini terasa surealis, ajaib, & filosofis. & karena ditulis oleh seorang Presiden Penyair Indonesia—teks-teks dalam cerpen ini mengeluarkan bunyi-bunyian yang ritmis & merdu—seperti hujan di hadapan gurun pasir. Cerpen ini seperti cocok dibaca ketika kita sudah terlampau mumet bergelut dengan realitas yang ada. "Hujan" seperti menghidupkan kembali seorang bocah kecil di dalam alam bawah sadar pembaca.

DI KEBUN BINATANG: mulanya saya mengira ini adalah cerpen tentang sebuah keluarga yang lengkap & harmonis—yang akan membuang minggu di kebun binatang—tetapi saya keliru. Cerpen ini berisikan pertanyaan-pernyataan sengit antar tokohnya: Herman & Lisa (atau mungkin lebih tepatnya berisi rayuan maut nan pantang menyerah dari Herman untuk Lisa). Berlatar sama seperti judulnya, dari dibuka sampai ditutup—dari penolakan sampai penerimaan. "Lisa kemerah-merahan pipinya karena malu, menunduk dan memalingkan mukanya dari Herman. Tapi, Herman memegang bahunya mengajak Lisa memandang langit senja dan kelepak burung yang pulang ..."

Detail di dalam cerpen ini luar biasa rinci. Kalau boleh sok tahu, "Di Kebun Binatang" seperti sebuah cerpen yang beririsan dengan puisi legendaris SCB: "Tragedi Winka dan Sihka".

SUATU MALAM SUATU WARUNG: berlatar malam hari di suatu warung yang muram karena lampu di sana bersinar muram—tentang tiga pengarang muda nan suram yang membahas ketakproduktifan mereka dalam mengarang karya sastra—lantas secara acak & tiba-tiba, Nahar (seseorang dari trio suram itu), membahas ketidaktakutannya pada sipilis & gonorrhea. Cerpen ini tambah madesu dengan hadirnya dua wanita tua (satu pelacur tua, satunya lagi pelacur yang lebih tua karena beban kantuknya); yang pertama merajuk bahkan menangis karena terus menerus dituduh mengidap sipilis & gonorrhea, yang kedua pernah alami sipilis & gonorrhea kemudian bertobat & membuka warung ala kadarnya. Saya tertarik dengan bagaimana SCB membuat kesal pembaca (khususnya saya) menggunakan dialog-dialog menyebalkan khas malam hari semacam ini.

TAHI: saya penasaran, apakah SCB menulis cerpen berjudul "Tahi" yang memiliki judul asli "Protes" ini sambil ketawa atau tidak. Saya berani bertaruh—jika pembaca punya sedikit saja kewasaran dalam batok kepalanya, maka ia akan berkata dengan penuh kesadaran bahwa cerpen ini sungguh sinting. Bercerita tentang tokoh aku, kawannya yang belum makan selama empat hari, & seekor figuran berwujud anjing bernama Moli. Tentang orang makan tahi yang menurutnya rasanya seperti nasi goreng, atau nasi goreng yang rasanya seperti tahi karena dibuat dari tahi. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa "Tahi", sama sekali tak berbau tahi—baunya satir sosio-ekonomi campur komedi hitam seorang sastrawan kawakan yang punya selera humor ekstrim. van Gogh gila karena matahari, sama seperti seseorang yang tak makan selama empat hari, yang terpapar sinar matahari secara konstan—kemudian harus fatum brutum amor fati—menyantap tahi dengan lahap. Secara filosofis, cerpen ini seperti ingin mengatakan, pada akhirnya pada titik tertentu—semuanya akan jadi tahi atau minimal terasa seperti tahi & kita harus menerima-menikmati—lebih-lebih mencintai hal-hal tahi semacam itu.

TANGAN: masih dengan tokoh bernama Herman, namun bukan berkisah tentang Herman yang merayu Lisa untuk kawin dengannya. Herman yang ini bucin kepada seorang perempuan bernama Nina. Herman yang ini punya tangan besar & berbulu. Masalahnya, Nina, tak suka tangan Herman yang besar & berbulu. Cerpen dibangun dengan suasana yang cukup romantis, potongan-potongan kejadian yang berjalan pelan namun mantap, lanskap alam yang lagi-lagi detail & indah, & bentuk rasa cinta seorang Herman yang edan, yang melakukan segala cara demi membuat Nina mencintainya—termasuk berpikir beberapa minggu, kemudian kesurupan arwah van Gogh—tetapi seperti yang sudah diduga, Herman tak memotong telinga kirinya, ia memotong satu tangannya sendiri. Saya mencium sedikit bau tragikomedi di sini, sebab pada akhirnya, alih-alih Nina terpesona, terkesan, & jatuh cinta—ia malah muntah di sumur di rumahnya—lalu duduk tersandar pada tembok sumur dengan mata tertutup, dengan tubuh lemas, & kehabisan bahasa. Setelah membaca cerpen sedeng yang cukup melelahkan ini, saya mencoba membayangkan Herman berbahagia dengan apa-apa yang telah dilakukannya. 

Seseorang benar-benar harus membayangkan Herman berbahagia.

MENULIS: bagi saya, menulis karya sastra dengan tema kepenulisan adalah sesuatu yang bisa dikatakan 'berat'. Selain itu, biasanya, juga rentan terjebak dalam klise yang itu lagi itu lagi: misalnya, menceritakan mimpi-mimpi keabadian seorang penulis muda, tambah kenaifan-kenaifannya, tambah ke-optimis-an-nya yang terlampau gigan untuk sekadar dibaca. Tapi tidak dengan cerpen ini, di sini, di cerpen ini, SCB berhasil kabur dari perangkap-perangkap itu. "Betapa pun, aku mau menulis yang kecil-kecil. Aku mau menulis yang kecil-kecil agar aku tak kebesaran dunia. Aku harus kuat pada dunia tanpa menjadi kebesaran padanya. Dunia ini sesuatu yang besar, dungu, tak peduli, keras, & seterusnya ..."

Cerpen ini seperti sebuah puisi ode yang dinarasikan dengan kesinisan-kelirisan dalam dosis wajar—untuk hal-hal yang kita anggap remeh-temeh & biasa-biasa saja. Melalui cerpen ini, SCB seperti ingin meneroka perspektifnya tentang hal-hal filsafati, mendefinisikan kebenaran menurutnya, & mengejawantahkan kata 'hidup' dengan memesona. Dimulai dengan menghadirkan keabsurdan kecoak Kafka, hingga membahas burung milik Freud. Ada banyak dialog eksistensial & intelektual yang cukup pekat untuk membuat pembaca mempertanyakan ulang hidup & kehidupan. Di sini, di cerpen ini, saya bisa merasakan sedikit momen puitik seorang SCB yang ditumpahkan ke dalam teks di tubuh cerita pendek. "Menulis" adalah cerpen favorit saya dalam buku ini.

SENYUMLAH PADA BUMI: adalah cerpen paling waras, paling bijak, & paling jelas amanatnya dalam buku ini. "Selalulah senyum, kau akan dapat sesuatu meskipun tidak selalu tepat seperti yang kau inginkan ..."

Petuah-petuah di cerpen ini tak terjatuh ke jurang ke-sok-tahu-an yang menyebalkan, yang terkesan menggurui seseorang yang masih bau kencur, yang rambutnya masih bau matahari kemarin sore. Membaca "Senyumlah Pada Bumi", pembaca akan dihadapkan pada teks yang hangat & yang sejuk—seperti mendengarkan cerita seseorang telah kita kenal lama, seseorang yang ... ingin kita temui di suatu malam yang masih panjang untuk diarungi seorang diri. Jika cerpen memang harus mengandung nilai moral atau (jika meminjam bahasa Kafka) harus menjadi kapak yang memecahkan lautan beku dalam tubuh kita—maka cerpen ini adalah amplas yang mengamplas kembali pesan arkaik yang kian terlupakan ... tentang betapa pentingnya sebuah senyuman.

Setelah membaca cerpen ini, seulas senyum meraksasa di muka saya yang melankolis ini.

AYAM: sejujurnya, membaca cerpen ini begitu melelahkan. Dimulai dengan narasi bernuansa sejarah timur tengah berbau para nabi, lalu pembaca dilemparkan pada hiruk-pikuk sepasang pasutri yang memelihara ayam, yang (saya duga) keduanya sama-sama sinting. Tentang tokoh aku, yang sepertinya memiliki dendam pribadi kepada unggas berkaki dua yang lazim kita sebut sebagai ayam. Mungkin mereka kesal, sebab ayam peliharaannya itu sering berak sembarangan. Namun pada suatu pagi yang absurd, tokoh aku seperti merasa kehilangan ayam yang ia begitu benci & secara acak, seekor cicak pun jatuh dari tembok—menatapnya sesaat—kemudian lari & tokoh aku tiba-tiba berteriak pada istrinya yang sedang berada di dapur bahwa ia ingin memelihara buaya. Kisah benar-benar berjalan seperti keong yang malas berjalan. & alurnya bergerak ke suatu arah yang nyaris tak tertebak sama sekali. Ada banyak dialog-dialog yang saya kira bakal menggelitiki perut pembaca. & saya benci harus jujur lagi bahwa saya tak pernah menyangka membuang bangkai ayam bisa jadi persoalan yang begitu serius, setara dengan menjaga hubungan diplomatik antar negara demi terciptanya perdamaian dunia. 

"Ayam" adalah cerpen yang ilustrasinya dijadikan sampul "Hujan Menulis Ayam" terbitan Indonesia Tera pada 2020 ("Hujan Menulis Ayam" pertama kali diterbitkan Indonesia Tera pada tahun 2001). Setelah membaca cerpen ini saya membayangkan demit pohon apa yang menginspirasi SCB menulis cerpen ini. Apakah Pohon Akasia?

PADA TERANGNYA BULAN: saya tidak ingin berkomentar banyak tentang cerpen yang satu ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa SCB sepertinya punya hubungan gelap dengan bulan. Buku kumpulan cerpen ini dimulai & diakhir oleh cerpen yang puitis. Diawali dengan Hujan, ditutup dengan Malam, Bulan, Lagu, & Gitar.

Semacam Ringkasan yang Benar-Benar Ringkas

Sejujurnya saya tak handal membuat kesimpulan: satu yang jelas—membaca buku ini membuat saya nausea, & membuat gaya gravitasi di pantat saya semakin menguat. Sedang pikiran saya makin keliling dunia, & perasaaan saya jadi sebungkus permen nano-nano. & pada akhirnya, kita memang harus setuju dengan Nietzsche bahwa: tak ada fakta, hanya ada interpretasi. Sebab ... sebuah buku yang dibaca oleh seribu orang yang berbeda adalah seribu buku yang berbeda—tutup Tarkovsky—mengakhiri review singkat pembaca awam ini.

special thanks to: Indonesia Tera & Titan Sadewo

Arsip Puisi Moch Aldy MA