Showing posts with label esai. Show all posts
Showing posts with label esai. Show all posts

Thursday, 25 May 2023

Apakah Kecerdasan adalah Kutukan?

“Sebab, dengan banyak hikmat, ada banyak kesusahan, dan dia yang memperbanyak pengetahuan memperbanyak kesengsaraan.” — Eccelesiastes 1:18

Pada tahun 1983, Howard Gardner, seorang figur pendidikan dan psikolog, mempopulerkan teori kecerdasan ganda dalam bukunya⁠, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences⁠. Gardner secara praktis memperluas definisi kecerdasan dan menguraikan beberapa jenis kompetensi intelektual yang berbeda-beda. Ada sembilan tipe kecerdasan: naturalis, musikal, logis-matematis, eksistensial, interpersonal, kinestetik, linguistik, intrapersonal, spasial.

Akan tetapi, terlepas dari teori kecerdasan ganda ini dan pertanyaan fundamental tentang "apa itu cerdas?", meskipun saya bukanlah orang yang tergolong cerdas dalam standar mana-apa-pun, saya menaruh hipotesis bernada kecurigaan-sinis di hati bahwa jangan-jangan kecerdasan adalah kutukan. Seperti Prometheus yang menjadi "tersiksa" karena telah mencuri api pengetahuan dari para dewa di Gunung Olympus dalam mitologi Yunani.

Kecerdasan, yang sering kali dipandang sebagai kata sifat yang dicita-citakan, memiliki sisi gelap yang jarang dibayangkan, jarang diperbincangkan, jarang dibahasakan. Saya menilai, sesuatu yang secara sosial-kultural dikultuskan oleh hampir semua peradaban-kebudayaan ini (secara negatif) berpotensi besar untuk memengaruhi kesehatan mental, selera humor, relasi secara horizontal-vertikal, dan bagaimana dunia ide (dalam konteks Plato) tampak secara keseluruhan bagi pengidapnya. Lebih jauh dari itu, daya intelektualitas tinggi menyebabkan pemikiran berlebihan dan analisis tak berujung pangkal; yang berpuncak pada peningkatan dosis kecemasan dan kelelahan mental.

Seorang esais-cum-eksistensialis, Peter Wessel Zapffe, dalam esai yang melambungkan namanya, The Last Messiah, menamai kondisi paradoksal ini dengan sebutan “surplus kesadaran”. Pendek kata, kecerdasan memperkuat eksistensi kesadaran, sesuatu yang paling nyata yang membedakan manusia dengan hewan-hewan. Sialnya, harga yang mesti dibayar manusia untuk merengkuh kesadaran adalah keputusasaan.

Kadar kesadaran berlebih berbanding lurus dengan peningkatan kepekaan yang memungkinkan eskalasi keputusasaan. Dalam The Sickness Unto Death, Kierkegaard, sang filsuf-melankolis, menulis, "Dengan setiap peningkatan derajat kesadaran, dan dalam proporsi peningkatan itu, intensitas keputusasaan meningkat—semakin kuat kesadaran, semakin kuat keputusasaan.”

Seorang individu yang cerdas sering kali merenungkan apa-apa yang ada, yang tidak ada, mungkin ada, mungkin tidak ada, tidak mungkin ada, maupun yang tidak mungkin tidak ada. Sayangnya, meraba kemungkinan dari keberadaan bisa membuat pengidap kecerdasan kewalahan. Neuron dalam kepalanya akan condong mencari-melihat pola dari hampir segala sesuatu yang sekilas tampak tidak berhubungan sama sekali. Ia akan terus-menerus mencatat hal-hal yang menarik, hal-hal yang perlu dipelajari, hal-hal yang perlu diperbaiki-diimprovisasi, dan cara-cara untuk terus membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Hal ini tak jarang menyebabkan stres berat dan kegagalan untuk sekadar benar-benar beristirahat.

Dari pengamatan personal dan bacaan-bacaan, saya pun menemukan asumsi bahwa seorang yang cerdas bertendensi untuk "memiliki masalah" dengan "otoritas" atau "status quo" dan nilai-nilai kolektif. Entah negara tempatnya bernaung, agama-kepercayaan yang diyakini mayoritas orang, atasannya di kantor, dan sebagainya. Sebab, ia—sependek yang saya lihat—punya hasrat besar untuk bermain-main dengan apa-apa yang telah dianggap mapan. Hal ini akan menjadi masalah bila dilakukan di waktu dan tempat yang salah.

“Seseorang yang berpikir sepanjang waktu tak memiliki apapun untuk dipikirkan kecuali pikiran. Maka, dia kehilangan kontak dengan kenyataan dan hidup di dunia khayalan.” — Alan Watts

Surplus pikiran pun menimbulkan rasa keterpisahan dari dunia eksternal—semacam alienasi intelektual. Kecerdasan juga membuat pengidapnya terlihat kikuk, aneh, bahkan tampak tolol secara sosial. Bukankah kesenjangan intelektual dan kesulitan menemukan individu yang berpikiran sama mengandung konsekuensi logis, yaitu keterasingan sosial? Individu ini, tak peduli apakah dia tipikal introver atau ekstrover, niscaya berjuang setengah mampus untuk sekadar terhubung secara mendalam dengan orang lain—yang pada gilirannya, ia akan mengalami kesepian akut dan kehilangan sense of belonging.

Psikoanalis terkenal, Carl Jung, benar sekali lagi bahwa "jika seorang individu tahu lebih banyak dari yang individu lainnya, dia menjadi kesepian". Dengan demikian, perbedaan "frekuensi" antara seseorang yang cerdas dengan yang tak cerdas dalam obrolan pun memperparah rasa kesepian-keterasingan ini. Meskipun sepertinya hampir semua individu membutuhkan obrolan ringan, tetapi terlalu banyak obrolan ringan biasanya membuat seseorang yang cerdas mengalami kebosanan-kegabutan dan, pada gilirannya, membuatnya menjadi makhluk soliter penghuni kamar yang mengeksilkan diri dari lingkungan sosial.

Kecerdasan pun membawa serta standar-standar tinggi, harapan-harapan langit, dan cenderung membikin pengidapnya perfeksionis. Kecerdasan, bagaimanapun positifnya, adalah rahim yang melahirkan ekspektasi tinggi kepada/dari diri sendiri dan masyarakat, yang disimtomkan oleh stres kronis dan sindrom impostor. Sindrom impostor, pendek kata, adalah ketidakpuasan terhadap prestasi atau pencapaian yang diraih, secara konstan merasa kurang, dan merasa sebagai seorang penipu. Dalam bahasa Nietzsche yang filsuf-moralis, menipu diri sendiri merupakan dosa terbesar seorang manusia. Di pojokan sana, Dostoevsky sang novelis gigan pun besar kemungkinan mengamini kalimat puitis ini.

Dengan demikian, ada semacam pil pahit yang mesti ditelan oleh orang-orang cerdas nan perfeksionis bahwa dunia-kehidupan tidaklah sesempurna yang mampu mereka konstruksikan dalam pikiran-perasaannya. Akan selalu ada disparitas antara dunia ideal dengan realitas; demarkasi nyata antara gairah purba dalam diri untuk mencapai apa-apa yang sublim dengan apa-apa yang mampu ditawarkan kenyataan. Camus dan Beckett, duet maut absurdis, mendedahkan bahwa inilah mengapa hidup ini absurd dan, sialnya, manusia tak bisa lari dari absurditasnya.

Pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa ada banyak jalan menuju Roma, begitu pula jalan kecerdasan menuju kesengsaraan. Jika buku merupakan infrastruktur pembaca, pintu menuju pengetahuan, dan pengetahuan mengurangi kemungkinan kebahagiaan, maka berbahagialah mereka yang tak pernah membaca apa-apa sepanjang hayat dikandung badan.

Walau bagaimanapun, kecerdasan harus dirayakan-disyukuri-dicintai. Sebab, kecerdasan adalah sesuatu yang menggerakkan roda-roda peradaban menuju masa depan yang lebih asyik, menarik, dan mungkin baik. Dengan penerimaan semacam ini—mengakui serta sadar bahwa ada sisi gelap dari kecerdasan dan memilih untuk mencintainya—timbul pengharapan subtil bahwa semoga masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang lebih suportif.

Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia.

Wednesday, 17 May 2023

Homo Homini Hadeuh


Semenjak zaman bahela hingga kiwari, kita, “manusia”, secara nature, menyandang beragam julukan. Katakanlah, frasa Homo faber suae quisque fortunae (setiap manusia adalah pembuat-pencipta takdirnya sendiri)—yang pertama kali dicetuskan oleh negarawan dan penulis Republik Romawi, Appius Claudius Caecus—dilekatkan kepada makhluk bipedal bernama manusia.

Di kemudian hari, frasa ini digaungkan kembali dengan “sedikit” kurasi-modifikasi oleh filsuf-cum-sosiolog, Karl Marx: Homo Faber (manusia sebagai makhluk yang-bekerja/sebagai pekerja; makhluk yang produktif serta konstruktif)—Hannah Arendt dan Max Scheler memperluas terma Marxis ini dengan menegaskan bahwa “manusia adalah makhluk yang mengendalikan alam melalui alat-alat yang diciptakannya”.

Dalam semesta sastra, seorang pengarang asal Swiss, Max Frisch, menerbitkan novel dengan judul sama: “Homo Faber”. Secara jukstaposisi, Johan Huizinga, sejarawan Belanda menelurkan buku “Homo Ludens”—tentang sifat manusia yang secara natural senang “bermain-main” (bukan bekerja) khususnya dalam budaya.

“Seiring berjalannya waktu, kita menyadari bahwa kita sama sekali tak masuk akal seperti abad ke-18, dengan pemujaan terhadap nalar dan optimismenya yang naif, dan terhadap pikiran-pikiran kita; karenanya mode modern cenderung menyebut spesies kita sebagai Homo Faber: Manusia sang Maker. Tetapi faber mungkin tak begitu meragukan seperti sapiens, sebagai nama khusus manusia, yang bahkan kurang tepat, mengingat banyak hewan pun dapat menjadi Maker. Namun, ada fungsi ketiga yang berlaku dalam kehidupan manusia dan hewan, dan sama pentingnya dengan penalaran dan peciptaan, yaitu bermain. Tampak bagiku bahwa di sebelah Homo Faber, dan mungkin pada tingkat yang sama dengan Homo Sapiens, Homo Ludens: Manusia sang Player, layak mendapat tempat dalam nomenklatur kita.”

—Huizinga, Homo Ludens (2014)

Homo Faber dan Homo Ludens merepresentasikan dua konsep filosofis yang antipodal: yang pertama mengacu pada manusia yang menggunakan rasionalitasnya untuk menghasilkan-memproduksi objek-benda buatan dan dengan demikian mengendalikan dunia eksternal (alam); yang kedua menekankan betapa pentingnya peran atau esensi dari “bermain/permainan” dalam kehidupan manusia—serta berfokus pada waktu luang dan hiburan.

Selain dua istilah di atas, barangkali telah diketahui secara umum bahwa Bapak Taksonomi Modern sekaligus Bapak Ekologi Modern, Carolus Linnaeus, mengemukakan istilah Homo Sapiens sebagai penanda “manusia modern” pada wilayah ilmu Biologi. ‘Homo’ dan ‘Sapiens’ adalah kata dalam bahasa Latin yang secara literal artinya “manusia” dan “bijak”; manusia adalah spesies yang-bijak, singkatnya.
Terlepas dari segala kontroversi di belakangnya, istilah ini semakin menemukan kepopulerannya setelah Yuval Noah Harari menetaskan buku berjudul “Sapiens: A Brief History of Humankind” yang merisalahkan tentang tiga revolusi besar: Kognitif, Agrikultur, Sains—serta implikasinya terhadap peradaban. Beberapa tahun berselang, Harari menerbitkan “Homo Deus: A History of Tomorrow” yang mengeksplorasi berbagai dampak perkembangan teknologi (termasuk kecerdasan buatan) pada masyarakat dan beragam kemungkinan canggih di milenium-milenium mendatang.

Lebih lanjut, Harari secara naif percaya bahwa kemampuan yang dimiliki manusia memungkinkannya setara dengan Deus (bahasa Latin: Tuhan), dengan demikian ia menggagas Homo Deus (manusia sebagai “Tuhan yang berjalan” atau makhluk yang signifikan) dan praktis menambah panjang model-konsepsi manusia.

Selain empat arketipe-manusia yang telah disebutkan di atas, masih banyak 'homo-homo' lain, misalnya: Homo Economicus (manusia sebagai makhluk ekonomi) yang dicetuskan Adam Smith dalam The Wealth of Nations; Homo Politicus (manusia sebagai makhluk yang berpolitik) yang dikemukakan Aristoteles; Homo Sociologicus (manusia sebagai makhluk sosiologis/yang memiliki kapasitas untuk berperan secara sosial dan bermasyarakat) yang ditekskan Ralf Dahdendorf; Homo Narrans (manusia sebagai makhluk yang bercerita/yang mampu menarasikan sesuatu) yang dipaparkan Kurt Ranke; Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) yang diperkenalkan Plautus; Homo Homini Socius (manusia sebagai makhluk sosial/yang mampu berkawan dengan sesamanya) yang ditulis Seneca.

Homo Homini Hadeuh

Yang unik dan menarik dari manusia, pun luput orang-orang sadari, adalah fakta bahwa manusia barangkali merupakan satu-satunya hewan yang mempunyai kemampuan untuk mengeluh. Atau, dalam bahasa lebih yang teologis dan metafisik, adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang diberikan anugerah: kehendak untuk mengeluh.

Semut rangrang yang terinjak, ikan lele yang menunggu dimasak, burung camar yang ditembak, sampai kerbau yang dipakai untuk membajak—besar kemungkinannya tak memiliki kemampuan luar biasa yang secara autentik dimiliki manusia ini. Kehendak untuk mengeluh, meskipun Tuhan boleh jadi tak menyukainya, tetapi tetap Tuhan berikan kepada kita (dalam bentuk pilihan)—sebagai manifestasi cinta tingkat tinggi, antara pencipta kepada ciptaannya.

“Mengeluh adalah angin kencang yang membawa kita ke surga, terkadang aku berpikir; keluhan-keluhan itu secara tak sadar bernapas dengan keletihan “di sini”, dan merindukan “di sana”.”

—Broughton, Cometh Up as a Flower (2018)

Bayangkan apabila Tuhan tak menganugerahkan-menghadiahkan kehendak yang mampu menjadi semacam painkiller (obat berjenis analgesik yang berfungsi utuk meredakan nyeri) bagi kesusahan-penderitaan manusia ini, maka tak terbayang seberat apalagi beban-beban yang mesti kita pikul. Mengapa? Sebab terkadang, bahkan seringkali, hidup berjalan piawai menyebalkannya dan kita dirundung masalah-masalah secara konstan (di samping anggapan bahwa hidup adalah masalah itu sendiri).
Anehnya, kita selalu saja secara positif menemukan alasan-alasan baru untuk mengeluh dan secara paradoksal menemukan kepuasan-kenikmatan di dalamnya. Dengan demikian, manusia masa kini dibentuk oleh 5W dan 1H: waduh, waduh, waduh, waduh, waduh, hadeuh.

Akan tetapi, kehendak untuk mengeluh, alias obat yang bisa dibilang manjur ini, tentu memiliki beberapa efek samping tak mengenakkan seperti dianggap lemah oleh kawan kita yang Homo Ferrum (manusia besi/makhluk yang kuat sekali). Tipikal manusia yang, ajaibnya tak pernah menggunakan kehendak untuk mengeluh seumur hidupnya—meskipun didera “hujan problema” yang bertubi-tubi.
Negatifnya, selain itu, terlalu banyak atau terlampau sering berkehendak untuk mengeluh, secara tak langsung membikin citra kita buruk/jelek—sebagai manusia yang kurang bersyukur—yang, di titik tertentu, seperti tak pernah bisa mengapresiasi sesuatu.

Terlepas dari positif-negatif tersebut, tuntutan zaman dan persoalan-persoalan masa kini yang semakin ruwet-keruh tak terjernihkan, pada gilirannya, melahirkan begitu banyak kemungkinan-kemungkinan baru yang lumayan lucu. Salah satunya, tendensi kehendak untuk mengeluh yang berkelindan pada ruang-ruang digital, khususnya Twitter. Terhitung semenjak 24 Agustus 2022, “Komunitas Marah-Marah” kian ramai—sampai-sampai memiliki lebih dari 111.000 member yang berkehendak untuk mengeluh sepanjang sinyal dikandung paket internetan. Kira-kira beginilah deskripsi komunitasnya:

“WADAH BUAT MARAH BUKAN TEMPAT CAPER APALAGI TANYA JAWAB. KALO MAU CAPER MAEN TINDER AJA, KALO MAU TANYA JAWAB MAEN KUIS AJA.”

Marah-marah merupakan sebentuk ekspresi puncak dari mengeluh yang lazim juga disebut dengan berkeluh-kesah. Artinya, meningkatnya kecenderungan ini pada orang-orang sedikit banyak dapat menjelaskan beberapa hal serta memproduksi banyak pertanyaan-pertanyaan besar.
Apa bahan dasar atau sesuatu yang menggerakkan kehendak untuk mengeluh? Selain di Twitter, di mana biasanya seseorang berkehendak untuk mengeluh? Mengapa mereka berkehendak untuk mengeluh? Hingga, seberapa ampuh dampak dari kehendak untuk mengeluh terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi?

Pada akhirnya, tak akan ada jawaban pasti dan final untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sekilas nampak sinting ini. Tetapi, julukan Homo Homini Hadeuh: makhluk yang (mampu) mengeluh—mesti ditambahkan ke dalam kamus besar model manusia. Entahlah, barangkali manusia justru Homo Homini Homina-Homina, makhluk membingungkan yang selamanya akan menjadi rahasia tak terungkap kata. Atau, meminjam bahasa Rumi, barangkali manusia hanyalah kata kecil-mungil yang terselip di antara aib dan gaib.

Jangan lupa mengeluh dan misuh-misuh.

“Manusia adalah misteri—yang perlu diungkap, dan jika seumur hidup kau mencoba mengungkapnya, jangan katakan bahwa kau telah membuang-buang waktumu. Aku mempelajari misteri itu sebab aku ingin menjadi manusia.”

—Dostoevsky, The Brothers Karamazov (2002)

Monday, 27 March 2023

Antinatalisme: Perihal yang Lebih “Kontroversial” dari Childfree

Le Cauchemar du Petit Ludwig van Beethoven by Raymond Douillet

Beberapa waktu silam, istilah Childfree menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Childfree merupakan istilah teknis yang dinisbahkan kepada mereka yang secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak. Ini tentu berbeda dengan “Childless”. Perbedaannya, yang pertama adalah pilihan, sedangkan yang kedua adalah kompromi. Dengan kata lain, Childless merupakan suatu istilah untuk menjelaskan semacam kompromi atas ketidakmampuan untuk memiliki anak berdasarkan faktor di luar kehendak—sebut saja, biologis. Definisi antara Childfree dan Childless yang tertuang dalam buku Childfree & Happy (2021) karangan Victoria Tunggono.

Namun, terkait dengan hal ini, pernahkan kalian mengetahui istilah “Antinatalisme”?

Antinatalisme

Pertama-tama, apa itu “Antinatalisme”? Secara singkat dan sederhana, antinatalisme adalah posisi filosofis yang memandang kelahiran dan prokreasi makhluk hidup (termasuk non-manusia, seperti hewan) sebagai sesuatu yang secara moral, problematik, tercela, dan keliru—oleh karenanya, antinatalis (sebutan untuk penganut paham Antinatalisme) berpendapat bahwa manusia harus bersegera menghentikan siklus kelahiran.

Secara kesejarahan, kata “Antinatalisme” pertama kali digunakan dalam artian yang provokatif ini pada sekitar tahun 2006, ketika seorang aktivis-filsuf asal Belgia, Théophile de Giraud, yang menerbitkan buku berjudul L’art de guillotiner les procréateurs: Manifeste anti-nataliste—dan dosen-filsuf asal Afrika Selatan, David Benatar, menulis buku Better Never to Have Been: The Harm of Coming into Existence. Kedua karya kontroversial tersebut secara tegas menolak wacana untuk memproduksi anak. 

Penulis hanya akan sedikit membahas Antinatalisme-nya Benatar. Tetapi, yang lebih penting dari itu adalah mengapa? Mengapa? Dan, mengapa mempunyai anak merupakan ide yang buruk?

Benatar memiliki argumen untuk itu, yang disebut sebagai asymmetry argument: berkembang biak itu keliru karena asimetri antara kesenangan dan rasa sakit tak sepadan. Dengan kata lain, ketiadaan rasa sakit adalah baik bahkan jika tak ada yang mengalami kebaikan itu, sedangkan ketiadaan kesenangan tidaklah buruk kecuali jika seseorang tak pernah dilahirkan. Setiap manusia yang lahir pasti akan mengalami rasa sakit, lebih baik mereka tak ada karena tak ada yang dirugikan oleh ketiadaan mereka. 

Yang lebih suram dari asymmetry argument ini adalah fakta bahwa ia tak berangkat dari sesuatu berbau “keadaan” atau skenario overpopulasi yang katastropik seperti dalam Teori Malthusian.

Banyak yang berspekulasi bahwa karakter Thanos dalam film Avengers: Endgame (2019) menjadikan Teori Malthusian sebagai motivasi utama ketika menggenosida setengah populasi manusia: sekitar 5 triliun jiwa, jika dalam semesta Marvel. Teori-nya Thomas Robert Malthus ini menjelaskan tentang ketakseimbangan antara pasokan makanan dengan pertumbuhan penduduk yang eksponensial. Melalui karya berjudul An Essay on the Principle of Population pada tahun 1798, teori ini pertama kali muncul ke udara. Malthus percaya bahwa untuk mencegah masalah-masalah (social-environmental, khususnya) populasi harus dikontrol untuk menyeimbangkan pasokan makanan dengan melakukan pencegahan kelahiran. 

Upaya-upaya preventif dalam Teori Malthusian, pada gilirannya, mengingatkan penulis pada diskursus antara Pro-Life dan Pro-Choice yang sempat ramai di Amerika Serikat sana—antara yang menolak tindakan aborsi, dan yang membenarkannya. Terlepas dari pertimbangan moral-etika serta pergelutan keduanya, masing-masing dari mereka memiliki alasan logis dan “posisi ideologis” yang kuat. Bagaimana dengan Benatar? Sayangnya, dia bukan keduanya. Salah satu filsuf paling pesimis sepanjang sejarah filsafat ini, mungkin adalah seseorang yang akan berdiri paling depan untuk mendukung kepunahan umat manusia.

Pada akhirnya, untuk lebih memahami Antinatalisme, kita mungkin mesti memposisikan diri sebagai Mandra dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan (1994) yang di suatu episode paling lucu mengatakan: “Segini banyaknya orang, kagak ada yang nyenengin gua… Nyakitin semua! nyakitin semua!”. Barangkali benar bahwa hidup ini lebih bajingan dari yang kita kira. 

Mama, oooh

I don’t want to die,

I sometimes wish I’d never been born at all.

—Queen – Bohemian Rhapsody

*****

Referensi:

Benatar, David. 2006. Better Never to Have Been: The Harm of Coming into Existence. Oxford University Press, USA;

de Giraud, Théophile. 2006. L’art de guillotiner les procréateurs: Manifeste anti-nataliste. Le Mort-Qui-Trompe;

Malthus, TR. 1999. An Essay on the Principle of Population. Oxford University Press;

Tunggono, Victoria. 2021. Childfree & Happy. EA Books.

Thursday, 16 February 2023

Amor Fati: Nietzsche dan Stoikisme

L'éternel Retour by Raymond Douillet

“Formulaku untuk kebesaran dalam diri manusia adalah Amor Fati: bahwa seseorang tak ingin sesuatu yang berbeda, tak masa depan, tak masa lalu, tak pula semua kekekalan. Tak hanya menanggung apa pun yang diperlukan—tetapi mencintai semua itu.”

—Nietzsche, Ecce Homo (1992)

Begitulah, sabda si Dinamit-Nietzsche di buku otobiografinya, Ecce Homo—sebelum jatuh ke dalam penyakit kejiwaan pada bulan Januari 1889 dan kemudian, tak berselang lama dari itu—meninggal pada 25 Agustus 1900 karena pneumonia (infeksi/radang paru-paru). Meski dikarang pada tahun 1888, namun terbitan pertama buku tersebut mengudara pada 1908—sekitar 20 tahun setelah bukunya selesai ditulis, atau 8 tahun pasca Nietzsche wafat.

Lantas apa yang Nietzsche sebut sebagai formula bernama “Amor Fati” itu? Apakah itu semacam mantra ajaib penolak bala?

Pendek kata, Amor Fati adalah sebuah frasa dari bahasa Latin yang jika diterjemahkan secara kasar berarti: “Mencintai Takdir”. Amor Fati mempunyai bentuk yang lebih lengkap, puitis, dan monumental: yakni, 'Fatum Brutum Amor Fati'; yang kira-kira jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti: “Mencintai takdir walau takdir hadir dengan begitu brutal”. Mengutip dari merriam-webster.com, Amor Fati (amor fa·ti; ˈä-ˌmȯr-ˈfä-tē) bermakna: mencintai takdir; menyambut semua pengalaman hidup dengan baik. Jika mengutip dari urbandictionary.com, Amor Fati memiliki makna: menggambarkan suatu sikap yang melihat segala sesuatu yang terjadi dalam hidup seseorang; cara bersikap pada segala sesuatu.

Dengan kata lain, Amor Fati adalah suatu sikap penerimaan yang tegas dan antusias atas segala sesuatu—berpuncak pada kemampuan memaknai past/present/future dalam tenses hidup kita—agar kita mampu menjalani hidup dengan energik, tanpa kecemasan, dan mampu vis a vis menatap mata kematian tanpa satu pun penyesalan.

Secara literal, frasa Amor Fati justru bukan ingin menolak bala, tetapi mengajak kita untuk menerimanya secara brutal. Maka tak heran, frasa ini keluar dari mulut Nietzsche, sebab ia pernah mengungkapkan bahwa “inti dari realitas adalah kekacauan, adalah kaotis”—sehingga hal paling waras dan logis yang dapat kita lakukan, pertama-tama, adalah menerima kehidupan lengkap dengan seluruh keruwetan problemanya, kebudugan dunianya, dan tentu takdirnya yang sering luar biasa kejamnya.

Sejatinya, frasa Amor Fati telah hadir jauh sebelum Ecce Homo, misalnya dalam Die fröhliche Wissenschaft (La Gaya Scienza/The Gay Science/The Joyful Wisdom/The Joyous Science), Nietzsche menulis:

“Aku ingin belajar lebih banyak lagi untuk melihat keindahan macam apa yang diperlukan dalam segala sesuatu; maka aku akan menjadi salah satu dari mereka yang membuat segala sesuatu menjadi indah. Amor fati: biarkan itu menjadi cintaku selanjutnya! Aku tak ingin melancarkan perang melawan apa yang jelek. Aku tak ingin menuduh; aku bahkan tak ingin menuduh mereka yang menuduh. Memalingkan muka akan menjadi satu-satunya bentuk negasiku. Dan semua dalam semua dan secara keseluruhan: suatu hari nanti aku hanya ingin menjadi seseorang yang mengatakan ‘Ya’ pada kehidupan.”

—Nietzsche, The Joyous Science (2018)

Selain itu, Amor Fati juga tercatat dalam Der Fall Wagner (termasuk dalam “Nietzsche Contra Wagner”, sebuah esai kritik Nietzsche terkait pemikirannya tentang komposer Richard Wagner):

“Amor fati: adalah inti dari keberadaanku ... Hanya penderitaan besar; penderitaan besar itu, di mana kita tampaknya berada di atas api kayu hijau, penderitaan yang memakan waktu—memaksa kita, para filsuf, untuk turun ke kedalaman terdalam kita, dan melepaskan semua kepercayaan, semua sifat baik, semua pengurangan, semua kelembutan, semua mediokritas—hal-hal yang sebelumnya kita pertaruhkan di atas kemanusiaan kita.”

—Nietzsche, Nietzsche Contra Wagner (2021)

 

Amor Fati dan Stoikisme

Berbicara perihal ‘Amor Fati’, tak komprehensif bila tanpa membahas Stoikisme—sebab Nietzsche, secara filosofis, sedikit banyak terpengaruh oleh para Stoik. Stoikisme, singkatnya, adalah sebuah aliran filsafat Yunani Kuno, dan merupakan salah satu dari tiga mazhab filsafat besar pada periode Helenistik—satu era dengan Epikureanisme dan Pyrrhonisme—yang didirikan di kota Athena, Yunani, oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM.

Dalam beberapa literatur tentang Zeno kita dapat menemukan pemikirannya yang berwarna Amor Fati:

“Takdir adalah rantai sebab-akibat yang tak ada habisnya, di mana segala sesuatunya ada; alasan atau formula di mana dunia berjalan.”

—Zeno dari Citium

Dalam karya-karya Marcus Aurelius, salah satu figur Stoik paling terkenal pun demikian, misalnya pada Ta eis heauton (Meditations):

“Dia hanya melakukan apa yang menjadi tugasnya, dan terus-menerus mempertimbangkan apa yang dunia siapkan untuknya—melakukan yang terbaik, dan percaya bahwa semuanya adalah yang terbaik. Sebab kita membawa takdir kita bersama kita—dan takdir itu mengantarkan kita.”

 —Aurelius, Meditations (2006)

Figur intelektual Stoik pun tak luput menyatakan pandangannya yang bernuansa Amor Fati—baik secara tindakannya yang menerima hukuman bunuh diri yang dijatuhkan kepadanya maupun dalam karya-karya awalnya seperti Ad Lucilium Epistulae Morales (Letters from a Stoic):

“Kebahagiaan sejati adalah memahami kewajiban kita kepada Tuhan dan manusia; untuk menikmati saat ini, tanpa ketergantungan pada kecemasan akan masa depan; bukan untuk menghibur diri kita sendiri dengan harapan atau ketakutan, tetapi untuk merasa puas dengan apa yang kita miliki, yang sangat cukup ini.”

—Seneca, Letters from a Stoic (2004)

Filsuf Stoik lain, Epictetus, pun mencetuskan ungkapan yang kurang lebih seperti Amor Fati dalam bahasa dan terma Stoikisme—dia menulis:

“Jangan menuntut hal-hal terjadi seperti yang kau inginkan, tetapi berharaplah hal itu terjadi sebagaimana adanya, dan kau akan berjalan dengan baik.”
—Epictetus, The Discourses of Epictetus: The Handbook (1995)

Dengan demikian, besar kemungkinan Amor Fati adalah pola pikir Stoik untuk memanfaatkan masa kini dan secara total melakukan yang terbaik terlepas dari apa pun hasilnya dan apa pun yang terjadi: misalnya, perihal bagaimana memperlakukan setiap momen—tak peduli seberapa sulitnya—sebagai sesuatu yang harus dihadapi dengan berani, bukan dinegasikan atau dihindari.

 

Mengapa Amor Fati?

Kini, yang menjadi pertanyaan mungkin adalah mengapa kita harus bersusah payah menggali makna dari frasa Latin di kuburan-pemikiran Nietzsche—yang bahkan sudah berumur lebih dari 134 tahun itu (dan kuburan-pemikiran para Stoik yang jauh lebih purba)—untuk kemudian menghayati atau bahkan mengaplikasikannya dalam hidup kita?

Satu yang jelas, gagasan-gagasan ketuhanan, ritus-ritus keagamaan, dan ide-ide seseorang tak akan pernah pernah mati—selama itu tetap relevan dengan kondisi zaman. Tubuh dapat membusuk dan melebur dengan tanah, tetapi apa yang telah dia formulasikan—gaungnya masih mungkin terdengar lantang sampai sekarang dan sampai masa-masa yang akan datang. Secanggih apapun peradaban umat manusia, pada hakikatnya, tetap saja ada hal-hal yang tak dapat manusia seluruhnya dan seutuhnya kendalikan. Manusia boleh berbangga, manakala kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil membawa seekor anjing bernama Laika pergi ke luar angkasa, mendaratkan Armstrong dan Aldrin di bulan, robot-robot canggih ciptaan manusia sudah hilir-mudik di wajah planet lain, rencana futuristik untuk Kolonisasi Mars 2030, dan seterusnya dan seterusnya.

Akan tetapi, jauh di lubuk hati, pada gilirannya, kita mungkin menyadari sesuatu bahwa masih banyak hal-hal yang tak mampu kita kendalikan. Katakanlah waktu—sampai tulisan ini selesai dibuat—belum ada teknologi sesinting-secanggih mesin waktu yang memungkinkan penggunanya melakukan perjalanan waktu, yang dapat dikendalikan dengan sesuka pikiran-perasaan penggunanya. Yang menjadi masalah adalah, manusia itu budak sang waktu, seperti yang telah dipuisikan oleh Baudelaire, penyair besar Prancis itu dalam Enivrez-vous: “Kau harus selalu mabuk. Hanya itu satu-satunya—cara yang ada. Agar tak merasakan beban waktu yang mengerikan, yang mematahkan punggungmu, dan membungkukkanmu ke bumi, kau harus terus-menerus mabuk.” Hampir setiap orang di muka bumi ini, rasa-rasanya, memiliki semacam tendensi tinggi untuk mengubah masa lalunya, atau pergi melihat masa depannya.

Lalu, apa hubungannya semua ini dengan Nietzsche, Amor Fati, dan Stoikisme?

Amor Fati adalah kredo untuk menerima, merangkul, dan mencintai segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, belum terjadi, mungkin terjadi, tak mungkin terjadi, atau tak akan terjadi—di dimensi ketiga (kenyataan) yang dipenuhi berbagai kemungkinan-kemungkinan acak dan ensiklopedis. Secara lebih luas, mengafirmasi dengan tegas dan askenden hal-hal yang tak dapat kita kendalikan, sekaligus mencintai perubahan-perubahan yang tak terelakkan. Semacam upaya untuk menjustifikasi sekaligus menjawab aforisme ‘Phanta Rei’ à la Heraclitus, seorang filsuf pra-socrates, yang menekankan bahwa satu yang pasti dalam kehidupan adalah perubahan konstan. Secara implisit, kredo ini seperti mengisyaratkan bahwa sifat alam semesta adalah selalu berubah. Perubahan adalah sesuatu yang niscaya. Dengan demikian, tanpa perubahan—kita tak akan ada, kesadaran baru tak akan ada, daya-daya tafsir baru tak akan ada, kita tak akan tertawa ketika mengingat tragedi, tak akan belajar mencintai keberadaan dari ketakberadaan, dan tak akan mencipta sesuatu. Tanpa perubahan, kita tak akan pernah mengalami asam-garam itu semua.

Apakah perubahan itu baik, buruk, menyenangkan, menyiksa, menggairahkan, atau merugikan—itu persoalan lain. Miliaran tahun, umat manusia mengalami evolusi, perubahan, transformasi, mutasi—perkembangan yang eksponensial telah membawa kemungkinan ke tempat kita berada sekarang. Penulis tak akan dapat menulis hal-ihwal Amor Fati—jika bukan karena setiap peristiwa yang telah terjadi jauh sebelum saat ini: misalnya, karena seekor ikan purbakala yang mulai bosan hidup di dalam air, berpikir untuk naik ke daratan dan menjadi primata—lalu berevolusi sedemikian rupa, kemudian menjadi cikal bakal Homo Sapiens; atau dengan pendekatan agama samawi yang ditopang literatur-literatur abrahamik, karena sepasang manusia bernama Adam dan Hawa memakan buah terlarang, kemudian ditendang dari surga—lantas melahirkan seluruh keturunan manusia di muka bumi ini. Dengan membayangkan seperti itu, mungkin kita bisa mulai belajar untuk mencintai takdir dengan paripurna.

Nietzsche pun mengadvokasi ini: bahwa kita tak boleh lari dari takdir apalagi bersembunyi dari takdir. Kita harus menerimanya. Akan tetapi, lebih dari sekadar penerimaan biasa, lebih-lebih, kita harus mencintai takdir kita dan menerimanya secara utuh apa adanya. Kita perlu menerimanya, memanfaatkannya, dan menggunakannya untuk membuat sesuatu yang produktif—sesuatu yang bernilai seni, kreatif, dan filsafati. Meratapi dengan sesal hal-hal yang telah terjadi, hanyalah memperpanjang nafas penderitaan yang tak perlu—hanyalah membuang-buang waktu.

Ketika kita menerima apa yang terjadi pada kita, setelah memahami bahwa hal-hal tertentu—khususnya hal-hal buruk dan menyebalkan—berada di luar kendali kita (baca: Dikotomi Kendali-nya Stoikisme) kita hanya akan di hadapkan dengan ini: mencintai apa pun yang akan terjadi pada kita, menghadapinya dengan keceriaan di rongga dada, dan dengan energi besar serta meletup-letup, kita akan terus bersemi, lagi dan lagi. Meskipun dunia memberi winter-yang-menyakitkan, namun selalu ada summer-yang-tak-terkalahkan di dalam diri kita, meminjam interteks Camus, seorang eksistensialis yang lebih nyaman disebut absurdis. Selain itu, bahwa dibutuhkan api yang begitu panas untuk membentuk emas. Terbentur, terbentur, melebur—jika meminjam ungkapan Tan yang sudah dimodifikasi agar sesuai dengan konteks ini. Poinnya adalah bahwa selain pilihan, ada kebolehjadian tinggi bahwa hidup juga merupakan kompromi.

“Dari sekolah perang dalam kehidupan—apa yang tak membunuhku, membuatku jauh lebih kuat.” tulis Nietzsche dengan berani tanpa kecondongan masokis. Bukan untuk mencari pembenaran atas trauma dan luka masa lalu, tetapi lebih menawarkan semacam antidot-fakta bahwa tak ada kekuatan tanpa penderitaan. Bahwa kebijaksanaan harganya adalah pedihnya belajar dan istiqomah tingkat tinggi untuk bangkit dari kebahlulan.

Pada akhirnya, Amor Fati, adalah perihal bagaimana mengelola energi, emosi, waktu, dan tenaga kita dengan bijak. Terakhir, takdir mungkin memang piawai bangsatnya hadir seperti bajingan paling asu, tetapi hanya hidup singkat ini yang kita punya. Kita tak dapat mengontrol apa-apa yang di luar batas-batas kebebasan-kekuasaan kita, tetapi kita selalu dapat mengontrol apa yang bisa kita persepsikan dan mengelola serta mengkalkulasi tindakan macam apa yang dapat kita lakukan untuk mengubah setiap negatif menjadi positif. Sebab, ketimbang kalimat pasif, manusia adalah kalimat aktif—yang dengan segala intelektualitasnya semestinya mampu menjadi ‘aktor’ bukan ‘spektator’ bagi kehidupannya sendiri. Terdengar cukup eksistensialis, memang.

Que Será, Será; apapun yang akan terjadi, terjadilah. Jalani, nikmati, Amor Fati!

 

Referensi:

Nietzsche, Friedrich, 1992, Ecce Homo, London: Penguin Classics.

Nietzsche, Friedrich, 2018, The Joyous Science, London: Penguin Classics.

Nietzsche, Friedrich, 2021, Nietzsche Contra Wagner, California: Stanford University Press.

Heraclitus, 2003, Fragments, London: Penguin Classics.

Aurelius, Marcus, 2006, Meditations, London: Penguin Books.

Seneca, 2004, Letters from a Stoic, London: Penguin Books.

Epictetus, 1995, The Discourses of Epictetus: The Handbook, Fragments, London: Everyman Paperback.

Tom Stern, VIII—Nietzsche, Amor Fati and The Gay Science, Proceedings of the Aristotelian Society, Volume 113, Issue 2_pt_2, 1 July 2013, Pages 145–162, https://doi.org/10.1111/j.1467-9264.2013.00349.x

Panaïoti, A. (2012). Amor fati and the affirmation of suffering. In Nietzsche and Buddhist Philosophy (pp. 91-131). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9781139382144.007

Thiele, Leslie Paul. "TEN. Amor Fati and the Eternal Recurrence". Friedrich Nietzsche and the Politics of the Soul: A Study of Heroic Individualism, Princeton: Princeton University Press, 2020, pp. 197-206. https://doi.org/10.1515/9780691222073-014

Brodsky, Garry M. (1998). Nietzsche's notion of Amor fati. Continental Philosophy Review 31 (1):35-57.

Saturday, 31 December 2022

Analisis Filosofis Tren Fesyen Mamba

Portrait of Madame X (1884) by Sargent

Dewasa ini, setiap sendi kehidupan masyarakat bergerak dengan serba cepat—tak terkecuali industri fesyen dan berbagai geliat mode yang melingkupinya. Baru-baru ini, melansir dari CNN Indonesia, ada semacam kategorisasi citra diri dari cara berpakaian seseorang, khususnya kaum hawa: Cewek Mamba, Cewek Kue, dan Cewek Bumi.

Secara garis besar, sederhananya: Cewek Mamba adalah seorang perempuan yang berpakaian serba hitam; Cewek Kue adalah seorang perempuan yang berpakaian dengan warna-warna cerah, misalnya, kuning dan merah; Cewek Bumi adalah seorang perempuan yang berpakaian dengan earth-tone (warna-warna bumi), misalnya, cokelat, abu-abu, dan hijau tua.

Penulis hanya akan menganalisis secara umum (tak spesifik pada gender perempuan) serta singkat tipe yang pertama saja. Sebagaimana gaya hidup, pakaian mempunyai makna—baik secara sosial maupun personal. Makna, dapat ditelisik melalui beberapa pendekatan.

Semiotika

Menurut Derrida, seorang filsuf bahasa, semua ide-gagasan terkandung dalam bahasa dan tak ada seseorang pun yang mampu keluar dari bahasa. Jika pakaian adalah semacam metode komunikasi untuk mengomunikasikan sesuatu, maka dengan paradigma yang sama, dapat diasumsikan bahwa tak memakai pakaian pun merupakan suatu metode komunikasi, suatu cara untuk mengomunikasikan suatu pikiran atau perasaan (bahasa). Lantas, apa bahasa yang ingin dikomunikasikan seorang-mamba?

Hitam, adalah warna yang lekat dengan kegelapan, kesedihan, kedukaan, kematian, keeleganan, dan kemisteriusan. Seseorang yang berpakaian serba hitam, dengan demikian, memiliki kecenderungan untuk menandai dirinya sebagai individu yang “gelap”, sedang bersedih, sedang berduka, sudah menerima “mati”, mencoba elegan, dan penuh misteri. Dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut mencoba membangun tanda diri melalui atribut-atribut sifat yang dilekatkan pada warna hitam.

Saussure, seorang ahli bahasa dan tokoh strukturalis, menyatakan bahwa suatu tanda tak hanya ada dalam bentuk citra bunyi, tetapi juga dalam pemahaman. Seekor tokek disebut tokek karena ia memiliki citra bunyi “tokek”—sedangkan seekor kecoak tak memiliki memiliki citra bunyi “kecoak”, tetapi diberikan nama kecoak di atas persetujuan bersama bahwa hewan yang sering hidup di kamar mandi kotor tersebut dinamakan kecoak. Apa hubungannya dengan seorang-mamba?

Tentu saja seorang-mamba tak memiliki citra bunyi yang sama seperti seekor spesies ular endemik Benua Afrika bernama Black Mamba. Pointnya adalah bahwa segala sesuatu yang “ada” (besar kemungkinan) tak bisa lepas dari relasi tanda, penanda, dan petanda. Hitam adalah penanda (signifier) dan hal-hal yang identik dengan warna hitam (kegelapan, kesedihan, kedukaan, kematian, keeleganan, dan kemisteriusan) adalah petanda (signified). Ketika seseorang mengatakan kegelapan, kepala kita akan memiliki kecondongan untuk membayangkan warna hitam, begitu pula sebaliknya. Ini (mungkin) adalah bukti betapa kita terobsesi dengan relasi antara Penanda dan Petanda.

Fenomenologi

Selain tak bisa kabur dari bahasa, manusia pun tak bisa lepas dari fenomena. Fenomenologi, adalah ilmu yang mengkaji fenomena dan kesadaran sekaligus aliran filsafat yang berisi diskursus mengenai hal-hal personal (dan khusus) seperti pengalaman. Husserl, seorang filsuf sekaligus Bapak Fenomenologi, menekankan bahwa untuk memahami sebuah fenomena seseorang harus menelaah fenomena tersebut apa adanya. Seseorang harus menyimpan sementara atau mengisolasi asumsi, keyakinan, dan pengetahuan yang telah dimilikinya tentang suatu fenomena.

Dalam konteks Fesyen Mamba, penulis adalah seorang-mamba yang secara langsung mengalami fenomena tersebut. Jika dikorelasikan dengan kesuraman pandemi tak bertepi yang dirasakan secara pribadi, secara sosial, maupun secara global—ditambah survei yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI): pada tahun 2020, sebanyak 63 persen responden mengalami cemas dan 66 persen responden mengalami depresi (akibat pandemi COVID-19)—penulis menilai bahwa tren Fesyen Mamba mungkin hanyalah konsekuensi logis dari keadaan pandemi—di mana banyak orang kehilangan, berduka, bersedih, dan kemudian melupakan emosinya tersebut dalam cara berpakaian.

Fesyen Mamba, secara lebih luas, juga identik dengan seorang pelayat, à la gothic, dan secara sekilas mirip dengan gaya busana orang-orang dari gerakan Eksistensialisme Prancis tahun ’60-an yang membawa “wabah depresi” kepada dunia.

Sosio-Kultural

Tradisi Barat menganggap hitam sebagai warna ancaman dan pemberontakan—mereka mengasosiasikannya dengan kematian, pemakaman, kekuasaan, intimidasi, dan kontrol. Sehingga para Anarkis (seorang penganut Anarkisme: ideologi yang menentang hierarki dan status quo, khususnya negara) lekat dengan atribut pakaian serba hitam. Akan tetapi, dalam budaya kontemporer, orang-orang Barat melihat ‘hitam’ sebagai warna yang berkelas dan tanda dari suatu fesyen papan atas.

Secara sosio-kultural Timur, khususnya Indonesia secara garis besar, warna hitam dianggap sebagai jenis warna yang sakral. Warna hitam kerap digunakan dalam berbagai jenis pakaian kebesaran, seperti pakaian kerajaan, sampai busana pengantin. Pakaian berwarna hitam tak selalu negatif—dengan kata lain, situasional—bahkan positif, misalnya bagi seseorang yang sedang berziarah atau melayat, memakai pakaian berwarna hitam bermakna “baik”—ikut berduka dan menghargai keluarga yang sedang berduka.

Menurut interpretasi penulis, alih-alih tren yang berangkat dari faktor kesakralan sosio-kultural warna hitam, tren Fesyen Mamba, lebih merupakan gerakan selera personal bernuansa melankolisme-gelap—yang pada gilirannya menjamur secara kolektif karena kesamaan “rasa” di bawah pesimisme-pandemik yang dirasakan secara global. Mungkin juga karena memang seorang-mamba hanya sekadar menyukai warna hitam. Di sisi lain, analisis semiotik bertendensi menghiperbolakan suatu fenomena sosial yang sebenarnya biasa saja. Kita tutup dengan tafsiran de Waelhens atas pemikiran Merleau-Ponty, filsuf ambigu itu, bahwa dunia/realitas tak akan pernah bisa direduksi menjadi satu makna belaka—sebab dunia/realitas sungguhlah rumit. Kedwiartian? Kebanyakartian? Kebanyakan-arti?

*****

Referensi:

de Saussure, Ferdinand. 1998. Course in General Linguistics. Open Court;

Derrida, Jacques. 1997. De la grammatologie. Johns Hopkins University Press;

Husserl, Edmund. 1999. The Idea of Phenomenology. Springer;

de Waelhens, Alphonse. 1951. Une philosophie de l’ambiguïté. Publications Universitaires de Louvain;

Kaiser, S. (2011). The Semiotics of Clothing: Linking Structural Analysis with Social Process. In T. Sebeok & J. Umiker-Sebeok (Ed.), The Semiotic Web 1989 (pp. 605-624). Berlin, Boston: De Gruyter Mouton. https://doi.org/10.1515/9783110874099.605;

Smith, J. A., & Osborn, M. (2015). Interpretative phenomenological analysis as a useful methodology for research on the lived experience of pain. British journal of pain, 9(1), 41–42. https://doi.org/10.1177/2049463714541642;

Cherry, Kendra. 2020. verywellmind. “The Color Psychology of Black” https://www.verywellmind.com/the-color-psychology-of-black-2795814;

Tim CNN Indonesia. 2022. CNN Indonesia. “Viral Cewek Kue, Cewek Mamba, Cewek Bumi, Apa Sih Artinya?”. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20220715071236-277-821821/viral-cewek-kue-cewek-mamba-cewek-bumi-apa-sih-artinya).